Rabu, 06 November 2013

Teori Konstruktivisme I Makalah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Konstrukstivisme dalam pendidikan di sususn untuk menjawab pertanyaan “bagaimana kita menjadi tahu apa yang kita ketahui” . jawaban pertama menyatakan bahwa pengetahuan secara utuh di pindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Inilah jawaban yang umum di anut  dunia pendidikan hingga sekarang, terutama Negara kita. Guru berusaha memasukan sebanyak mungkin pengetahuan ke kepala sisiwa, penelliti pendididkan mencari cara terbaik melakukanya.
Jawaba kedua yakni jawaban para konstruktivisme, menyatakan bahwa penmgetahuan di bangun dalam pikiran anak. Pengetahuan model konstruktivisme inilah yang akan mendasari pembahasan selanjutnuya dengan penekanan lebih pada pendididkan sains sebab dalam bidang ini telah banyak penelitian di lakukan

1.2  Rumusan Masalah
(a)    Apa yang dimaksud dengan teori konstruktivisme pengetahuan?
(b)   Bagaimana pembentukan konsepsi anak?
(c)    Bagaimana proses perubahan konseptual yang terjadi pada anak?
(d)   Bagaimana perubahan konseptual yang terjadi dalam kelas?
(e)    Apa peranan konstruktivisme dan kurikulum dalam pendidikan?


1.3  Tujuan Penulisan
(a)    Mengetahui teori konstruktivisme pengetahuan
(b)   Mengetahui pembentukan konsepsi anak
(c)    Mengetahui proses perubahan konseptual yang terjadi pada anak
(d)   Mengetahui perubahan konseptual pada kelas
(e)    Mengetahui peranan konstruktivisme dan kurikulum dalam pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar. Hal ini kemudian beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia. dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi pengetahuan konstruktivisme.
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai lebih         penting
           Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi  
Lebih dinamis
             Pengetahuan model konstruktivisme ini akan dibahas dengan penekanan lebih pada pendidikan sains sebab dalam bidang ini pula telah banyak penelitian dilakukan.
(1)   Beberapa interpretasi
Lawson, Abraham dan renner menekankan pada peranan pemikiran hipotesis deductive dalam pengembangan pemikiran siswa
Sedangkan Gertzog menekankan peranan pengetahuan yang sudah ada dan                       konflik        konseptual          dalam  belajar  sains.
Vygotsky mengungkapkan pentingnya faktor-faktor sosial dalam                                        belajar.Selama belajar terdapat saling pengaruh antara bahasa dan tindakan                        dalam kondisi sosial.
         Mengenai belajar sains, vygotsky menyarankan bahwa interaksi sosial itu penting saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit,masalah-masalah dan proses. Selanjutnya proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologi dengan dasar penggunaan bahasa. Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi para siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.
                        Glaserfeld (1988) tidak begitu yakin dengan penggunaan bahasa dalam kelas konvensional, yaitu bahasa yang digunakan guru untuk memindahkan pengetahuan dari dirinya pada siswa. Menurutnya bahasa dapat digunakan sebagai alat dalam proses membimbing siswa dalam membangun pengetahuannya.
Lawson (1988) yang menyarankan tiga tipe siklus belajar dalam sains menurut model konstruktivis berpendapat betapa pentingnya peranan bahasa dalam bentuk argumentasi. Menurutnya orang yang terampil dalam berargumentasi maka terampil juga dalam menalar.
B.konsepsi anak
Konsepsi anak sebagai hasil konstruksi tentng alam sekitarnya berbeda dengan konsepsi ilmiah. Oleh karena itu, ada yang memberi nama miskonsepsi pada konsepsi anak ini.Hal yang menjadi masalah besar dalam pendidikan sains ialah dalam konstruksi konsepsi ilmiah,miskonsepsio ini ditemukan sebagai penghabambat sehingga perlu di usahakan untuk mengubahnya.
1.   Miskonsepsi, status, dan sifat
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan siswa-siswa mengemukakan hal-hal berikut           
a. Miskonsepsi bersigfat pribadi. Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh    menulis tentang percobaan yang sama (mungkin hasil demonstrasi guru),            mereka memberikan berbagai interpretasi.
b. Miskonsepsi memiliki sifat yabg stabil. Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak     walaupun guru sudah berusaha memberikan suatu kenyataann yang       berlawanan.
c.  Bila menyankut koherensi, anak tidak merata butuh pandangan yang koheren sebab interpretasi dan predikisi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis kehilatanya cukup memuaskan.

Suatu perkembangan baru dalam bidang penelitian ialah evolusi progressive tentang konsepsi anak dalam domain-domain tertentu, misalnya tentang bentuk bumi pada usia muda ialah datar, kemudian pada usia yang lebih tua bentuk bumi itu bulat dengan pandangan absolut tentang “ atas” dan “bawah”  ( nusbaum, 1985). Demikian pula halnya dengan panas, dan temperature, zat serta suhu
2.      Terbentuknya miskonsepsi
Driver (1985) mengemukakan bagaimana terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran:
a.    Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi masalah.
b.   Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu dalam suatu situasi.
c.    Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan daripada situasi diam.
d.   Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung mengikuti urutan kausal linier.
e.    Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi, gagasan anak lebih inklusif dan global.
f.    Anak kerap kali menggunakan gagasan yang berbeda untuk menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara yang sama.

C. Proses Perubahan Konseptual
Miskonsepsi sedapat mungkin ditiadakan melalui perubahan konseptual.
1.   Beberapa alternatif
Perubahan konseptual dapat berlangsung sebagai perubahan lemah da nada pula yang bersifat radikal. Perubahan konseptual pada anak sejalan pararel dengan cara perubahan teori dalam sains menurut argumentasi Kuhn(Driver, 1989). Sebagaimana halnya dengan perubahan teori dalam sains, perubahan konseptual pada anak mungkin terjadi akibat berbagai factor yang kompleks .
Alternative yang akan dibahas selanjutnya ialah alternative yang hingga sekarang paling dominan diterapkan di Negara orang, yaitu perspektif perubahan konseptual, menurut persfektif ini, perubahan konseptual melibatkan dua komponen, yaitu kondisi yang harus dipenuhi agar terjadi perubahan konseptual dan ekologi konseptual yang menyediakan konteks untuk berlangsungnya perubahan konseptual. Model perubahan konseptual tidak perlu diterapkan pada pengetahuan social sebab pengetahuan ini didasarkan pada perjanjian.




1.      Proses terjadinya perubahan konsepstual
Menurut Posner(1982) dan Hewsen(1989), jika perubahan konsepstual akan terjadi, mula-mula anak itu harus merasa tidak puas dengan gagasan yang ada. Walaupun demikian, ketidakpuasan saja tidak cukup unttuk mengganti gagasan lama dengan gagasan baru. Harus ditambhakan  3 kondisi, yaitu gagsan baru itu harus intelligible(dapat dimengerti), plausible(masuk akal), dan fruitful(memberi suatu kegunaan).
Suatu contoh terjadinya perubahn konsepstual diberikan sebagai berikut:
Konsep anak yang biasa dijumpai pda anak-anak sekolah dasar ialah mereka menganggap zat padat atau zat cair terbentuk dari molekul-molekul yang padat atau zat cair terbentuk dari molekul-molekul yang “berupa air”. Akan tetapi, setelah guru meminta mereka menggambarkan zat padat atau zat cair dengan memperlihatkan molekul-molekulnya, kemudian guru bertanya apa yang terdapat antara molekul-molekul itu, mereka berpikir.
Bermacam-macam pikiran terjadi pada anak-anak antara lain sebagai berikut.
·   Tentunya molekul-molekul itu tidak melekat satu sama lain
·   Mungkin dalam es molekul-molekut itu dapat melekat satu sama lain sebab bentuk es selalu tetap
·   Dalam air tak mungkin. Bagaimana air dapat mengalir?
·   Tentu diantara molekul-molekul itu terdapat ruang kosong, walaupun sedikit dan diantara dan molekul-molekul itu tentu terdapat ikatan
Mereka merasa tidak puas dengan konsepsinya selama ini dan bersedia mengubahnya.
Mereka berkata:” molekul- molekul itu di kelilingi oleh ruang kosong”
Kemudian guru bertanya lagi: “ apa yang terjadi kalau es di panaskan?” mereka menjawab bahwa bukan molekul-molekulnya berubah yaitu dari padat menjadi cair,melainkan ikatan-iktan antara molekul-molekul yang putus. dan bila banyak energy yang diberikan, molekul-molekul itu dapat “beterbangan” membentuk gas yang memuai tidak terhingga bila tempat molekul-molekul itu tidak tertutup.
Jelas bila mereka menerima konsepsi baru. Dengan demikian setelah mereka tidak puas dengan konsepsi lama dan konsepsi baru dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa lain, terlihatlah segi kegunaan konsepsi baru. Dengan demikian proses perubahan konseptual berlangsung dalam diri anak.


D. Perubahan-perubahan konseptual dalam kelas
Beberapa strategi mengajar untuk berlangsungnya perubahan konseptual pada anak dalam kelas diantaranya :
1. Model driver
Ketidakpuasan anak akan gagasan yang dimilikinya terjadi pada waktu ia dihadapkan pada suatu gagasan  baru yang bertentangan dengan gagsan yang dimilikinya yaitu pada fase “dihadapkan pada suatu situasi konflik”. Dalam fase “konstruksi gagasan baru “ berkembang intelligibility dan plausibility gagasan baru itu. Sesudah anak itu dapat menerapkan gagasan baru itu pada situasi dan fenomena baru selama fase “ aplikasi gagasan”, kondisi fruitfulness tercapai.
2. Model Lawson
Lawson (1988) mengemukakan 3 fase dalam siklus belajarnya, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep. Selama fase eksplorasi, para siswa belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam situasi baru. Dalam fase ini kerap kali menyelediki suatu fenomena dengan bimbingan minimal. Fenomena bari itu seharusnya menimbulkan pertanyaan atau kekompleksan yang tidak dapat mereka pecahkan gagasan-gasan mereka yang ada atau dengan pola-pola penalaran yang biasa mereka gunakan.  Eksplorasi juga membawa para siswa pada  identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki.
Fase kedua ialah pengenalan konsep yang biasanya dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep atau konsep yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki dan diskusikan dalam konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi.sesudah pengenalan konsep fase aplikasi menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan.
Lawson (1988) mengemukakan  3 macam siklus belajar: descriptive, empiris-induktif, dan hipotesis deduktif. Ditinjau dari segi penalaran siklus descriptive menghendaki hanya pola-pola deskriptif( misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi) sedangkan siklus belajar hipotesis deductive menghendaki pola-pola tingkat tinggi( misalnya mengendalikan variable, penalaran korelasional, penalaran hipotesis deductive).  Siklus belajar deductive bersifat intermediate, menghendaki pola-pola penalaran descriptive, tetapi juga umumnya melibatkan pula pola-pola tingkat tinggi.
Dalam siklus belajar descriptive, para siswa mengemukakan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu  konteks khusus (eksplorasi), sementara guru meberi nama pada pola itu( pengenalan istilah atau konsep) kemudian pola itu ditentukan dalam konteks lain( aplikasi konsep). Bentuk siklus belajar ini disebut descriptive sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesi hasil pengamatan mereka.
Dalam siklus belajar empiris induktif, para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus( eksplorsi), tetapi mengemukakan sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya pola itu. Dengan kata lain pengamatan dilakukan secara descriptive tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh,yang mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama empiris- induktif.
      Siklus belajar hipotesis-deduktif, para siswa diminta untuk merumuskan jawaban (hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu.selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi logis hipotesis ini dan merencanakan serta melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedangkan yang lain diterima dan konsep dapat diperkenalkan. Akhirnya konsep yang relevan dan pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan dapat diterapkan pada situasi lain dikemudian hari. Merumuskan hipotesis-hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil empiris diperlukan dalam siklus belajar ini. Oleh karena itu diberi nama hipotesis deduktif.
3.      Model Glasson
Glassom menamakan siklus belajarnya “siklus belajar berorientasikan bahasa”. Penggunaan klarifikasi menunjukkan peranan aktif siswa sedangkan introduksi istilah memperlihatkan peranan guru. Selanjutnya klarifikasi menunjukkan bagaimana siswa dapat mengungkapkan usahanya untuk mengatasi disekuilibrium kognitif yang mereka alami selama fase eksplorasi. Pada fase ketiga Glasson menggunakan elaborasi sebab yang lebih penting adalah pemecahan masalah divergen daripada aplikasi konsep baru pada keadaan-kkeadaan baru.
Siklus belajar Glasson sesuai teori vygotsky yang menyarankan penggunaan berbagai cara interaksi social dalam mengembangkan suatu spectrum yang luas pada proses yang luas dalam proses berfikir, menurut Glasson pola-pola tidak merupakan atribut fenomena, tetapi konstruksi  manusia yang merefleksikan harapan, pengalaman, dan persfektif anak. Oleh karena itu siswa dan orang awam mengonstruksikan pola yang dapat berbeda dengan pola yang dikonstruksi oleh ilmuwan yang berpengalaman.

E. Konstrukstivisme dan Kurikulum
Driver(1988) mengemukan implikasi perspective para konstruktivis untuk pendidikan sains, yaitu sebagai berikut
1.   Anak tidak dipandang sebagai penerima pasif program pengajaran, melainka, bersifat purposive dan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri.
2.   Belajar sains melibatkan perubahan dalam konsepsi anak. Secara sktive anak membangun pengetahuanya untuk mencapai kebermaknaan.
3.   Pengetahun itu tidak bersifat objective, tetapi pribadi dan dibangun secara social.
4.   Mengajar bukanya pemindahan pengetahuan, tetapi negosiasi kebermaknaan
5.   Kurukulum bukanya apa yang harus dipelajari, melainkan suatu program tugas belajar, bahan, dan sumber yang memungkinkan anak untuk merekonstruksi gagasanya mendekati gagsan sains sekolah
Hal yang dikemukan oleh driver memerlukan pembahasan lebih lanjut terutama tentang pengembangan kurikulum dan strategi belajar mengajar.
1.   Perubahan konseptual dan tingkat sekolah
Menurut villain, agar perubahan konseptual tepat untuk semua tingkat sekolah harus dibedakan 2 fase perubahan yang kurang lebih sama dengan penerimaan pengethauan ilmiah baru: conceptual change” latu sensu”(c.c.l.s) dan conceptual change” stictu sense”(c.c.s.s). dalam c.c.c.l.s, pengeahuan baru dan pengetahuan lama berada bersama, dalam c.c.c.s.l, pengetahuan ilmiah baru, baik cara-cara penalaranya maupun nilai-nilai intelektual yang implisif dalam kegunaanya secara ilmiah, diterima oleh siswa, yang berhasil mengintegrasikan kedalam system konseptual yang koheren dan efisien
Menurut pengalamanya tujuan c.c.s.s.s dapat dicapai pada tingkat universitas dan dengan beberapa modivikasi kurikuler
Untuk pendidikan tingkat primer dan sekunder tujuan c.c.s.l sudah cukup. Guru harus memfokuskan usaha-usahanya untuk menyiapkan kegiatan dan menyarankan tugas yang cukup menarik untuk menstimulasi agar sisiwa terlibat secara ilmiah, tanpa mengharapkan betul gugurnya semua cara berfikir spontan anak. Dalam fase selanjutnya, tujuanya bukan untuk menghilangkan penalaran spontan, melainkan untuk memacu penalaran ilmiah. Dengan demikian focus diarah kan pada tumbuhnya sukses dari pengalaman baru
2. Peranan Materi Ajar
        Dalam pengembangan kurikulum, menurut persepektive konstruktivis tidak hanya struktur bidang stusi yang diperhatikan, tetapi juauga gagasan anak. Hal yang juga menjadi masalah ialah anggapan bahwa banyak topic domainsains dalam mengajarkanya mempunyai satu urutan presentasi logis saja. Hal ini ditemukan terutama dalam fisika.
        Untuk SD mungkin topic yang dipilih adalah topic yang berhubungan dengan gagasan yang anak dapat menguji gagasanya, misalnya penguapan, kondisi-kondisi agar tanaman dapat tumbuh, dan lain-lain. Hal yang perlu ini adalah guru mengajar dengan bertitik tolak dari gagasan yang telah dimiliki anak dengan memperhatikan miskonsepsi yang mereka miliki.
           Gagasan  anak yang terdapat dalam kurikkulum hanya akan memberikan arah bagi guru untuk menyiapkan pelajaran, yaitu kurang lebih untuk menyiapkan bagaimana mengurangi kondisi miskonsepsi dan meningkatkan kondisi gagasan baru. Dengan membatasi jumlah topic yang dibahas di SD, mungkinkan akan timbul kesenangan pada anak untuk mempelajari sains, internal fruitfulness akan terpupuk.
3. Perenan guru dan siswa
        Peranan guru dalam pembelajarn konstruktiv terlihat pada bagaimana ia memilih dan mengendalikan proses belajar mengajar, memberikan dukungan selective terhadap interpretasi yang dikemukan siswa, baik mengenai isi interpretasi maupun cara atau sikap memberikan interpretasi dengan penguasaan materi ajar yang luas dan mendalam, guru lebih mudah mengajukan pertanyaan yang meminta para siswa beroikir dan merangsang mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas dalam usaha mengkonstruksi pengetahuan
        Proses belajar mengajar dapat digunakan guru untuk mencoba menanamkan kebiasaan-kebiasan sebagai dampak positive dan meniadakan kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak negative dari sifat pluralistic masyarakat
        Dengan sadar dan bertanggun jawab atas proses belajar mereka sendiri, para siswa berusaha melibatkan diri dalam proses perubahan konseptual dengan memperhatikan bimbingan guru dan kerja sama dengan teman-teman sekelas. Mereka berusaha mengkonstruksi kebermaknaan tentang hal yang sedang mereka pelajari. Konstruksi kebermaknaan dapat berlangsung melalui interaksi dengan fenomena, teks, melalui negosiasi interpersonal atau refleksi internal (driver 1988). Selain itu mereka berusaha menerima dan menepkan kebiasaan-kebiasan baik yang disrankan guru atau ditiru dari teman-sekelas, walaupun hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama.
        Selanjutnya dengan usaha ini anak-anak didik bukan hanya memiliki pengetahuan melainkan juga peradaban untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan hidup



BAB III
KESIMPULAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar