BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstrukstivisme
dalam pendidikan di sususn untuk menjawab pertanyaan “bagaimana kita menjadi
tahu apa yang kita ketahui” . jawaban pertama menyatakan bahwa pengetahuan
secara utuh di pindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Inilah jawaban yang
umum di anut dunia pendidikan hingga
sekarang, terutama Negara kita. Guru berusaha memasukan sebanyak mungkin
pengetahuan ke kepala sisiwa, penelliti pendididkan mencari cara terbaik
melakukanya.
Jawaba
kedua yakni jawaban para konstruktivisme, menyatakan bahwa penmgetahuan di
bangun dalam pikiran anak. Pengetahuan model konstruktivisme inilah yang akan
mendasari pembahasan selanjutnuya dengan penekanan lebih pada pendididkan sains
sebab dalam bidang ini telah banyak penelitian di lakukan
1.2 Rumusan Masalah
(a) Apa
yang dimaksud dengan teori konstruktivisme pengetahuan?
(b) Bagaimana
pembentukan konsepsi anak?
(c) Bagaimana
proses perubahan konseptual yang terjadi pada anak?
(d) Bagaimana
perubahan konseptual yang terjadi dalam kelas?
(e) Apa
peranan konstruktivisme dan kurikulum dalam pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
(a) Mengetahui
teori konstruktivisme pengetahuan
(b) Mengetahui
pembentukan konsepsi anak
(c) Mengetahui
proses perubahan konseptual yang terjadi pada anak
(d) Mengetahui
perubahan konseptual pada kelas
(e) Mengetahui
peranan konstruktivisme dan kurikulum dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar konstruktivisme
Teori
belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran
Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah
laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan
tingkah laku kepada pelajar. Hal ini kemudian beralih kepada teori pembelajaran
Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan
ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental
dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang
diterima, difahami oleh manusia. dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran
Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan
dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka.
Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi
pengetahuan konstruktivisme.
Pada
dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat
kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak
(multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa
“pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan
lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman,
dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat
penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang
lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga
dinilai lebih penting
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi Lebih dinamis
Pengetahuan
model konstruktivisme ini akan dibahas dengan penekanan lebih pada pendidikan
sains sebab dalam bidang ini pula telah banyak penelitian dilakukan.
(1) Beberapa interpretasi
Lawson, Abraham dan
renner menekankan pada peranan pemikiran hipotesis deductive dalam pengembangan
pemikiran siswa
Sedangkan Gertzog menekankan
peranan pengetahuan yang sudah ada dan konflik konseptual dalam belajar sains.
Vygotsky
mengungkapkan pentingnya faktor-faktor sosial dalam belajar.Selama belajar terdapat saling
pengaruh antara bahasa dan tindakan dalam kondisi sosial.
Mengenai belajar sains, vygotsky
menyarankan bahwa interaksi sosial itu penting saat siswa menginternalisasi
pemahaman-pemahaman yang sulit,masalah-masalah dan proses. Selanjutnya proses
internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologi dengan dasar
penggunaan bahasa. Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang
didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi para siswa untuk menegosiasi
kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.
Glaserfeld
(1988) tidak begitu yakin dengan penggunaan bahasa dalam kelas konvensional,
yaitu bahasa yang digunakan guru untuk memindahkan pengetahuan dari dirinya
pada siswa. Menurutnya bahasa dapat digunakan sebagai alat dalam proses
membimbing siswa dalam membangun pengetahuannya.
Lawson (1988) yang menyarankan tiga tipe
siklus belajar dalam sains menurut model konstruktivis berpendapat betapa
pentingnya peranan bahasa dalam bentuk argumentasi. Menurutnya orang yang
terampil dalam berargumentasi maka terampil juga dalam menalar.
B.konsepsi anak
Konsepsi anak sebagai hasil konstruksi
tentng alam sekitarnya berbeda dengan konsepsi ilmiah. Oleh karena itu, ada
yang memberi nama miskonsepsi pada konsepsi anak ini.Hal yang menjadi masalah
besar dalam pendidikan sains ialah dalam konstruksi konsepsi
ilmiah,miskonsepsio ini ditemukan sebagai penghabambat sehingga perlu di
usahakan untuk mengubahnya.
1. Miskonsepsi,
status, dan sifat
Berdasarkan
hasil penelitian yang di lakukan siswa-siswa mengemukakan hal-hal berikut
a. Miskonsepsi bersigfat pribadi. Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang sama (mungkin
hasil demonstrasi guru), mereka
memberikan berbagai interpretasi.
b.
Miskonsepsi memiliki sifat yabg stabil. Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah ini
tetap dipertahankan anak walaupun guru
sudah berusaha memberikan suatu kenyataann yang berlawanan.
c. Bila menyankut koherensi, anak tidak merata
butuh pandangan yang koheren sebab interpretasi dan predikisi tentang
peristiwa-peristiwa alam praktis kehilatanya cukup memuaskan.
Suatu
perkembangan baru dalam bidang penelitian ialah evolusi progressive tentang konsepsi
anak dalam domain-domain tertentu, misalnya tentang bentuk bumi pada usia muda
ialah datar, kemudian pada usia yang lebih tua bentuk bumi itu bulat dengan
pandangan absolut tentang “ atas” dan “bawah”
( nusbaum, 1985). Demikian pula halnya dengan panas, dan temperature,
zat serta suhu
2. Terbentuknya
miskonsepsi
Driver (1985) mengemukakan bagaimana terbentuknya
miskonsepsi dalam pembelajaran:
a. Terbentuknya
miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan berpikirnya pada
hal-hal yang tampak dalam suatu situasi masalah.
b. Dalam
banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu dalam suatu
situasi.
c. Anak
lebih cenderung memperhatikan perubahan daripada situasi diam.
d. Bila
anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung mengikuti
urutan kausal linier.
e. Gagasan
yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi, gagasan anak lebih inklusif dan
global.
f.
Anak kerap kali menggunakan gagasan yang
berbeda untuk menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan
digunakan cara yang sama.
C. Proses
Perubahan Konseptual
Miskonsepsi
sedapat mungkin ditiadakan melalui perubahan konseptual.
1. Beberapa
alternatif
Perubahan
konseptual dapat berlangsung sebagai perubahan lemah da nada pula yang bersifat
radikal. Perubahan konseptual pada anak sejalan pararel dengan cara perubahan
teori dalam sains menurut argumentasi Kuhn(Driver, 1989). Sebagaimana halnya
dengan perubahan teori dalam sains, perubahan konseptual pada anak mungkin
terjadi akibat berbagai factor yang kompleks .
Alternative yang
akan dibahas selanjutnya ialah alternative yang hingga sekarang paling dominan
diterapkan di Negara orang, yaitu perspektif perubahan konseptual, menurut
persfektif ini, perubahan konseptual melibatkan dua komponen, yaitu kondisi
yang harus dipenuhi agar terjadi perubahan konseptual dan ekologi konseptual
yang menyediakan konteks untuk berlangsungnya perubahan konseptual. Model
perubahan konseptual tidak perlu diterapkan pada pengetahuan social sebab
pengetahuan ini didasarkan pada perjanjian.
1. Proses
terjadinya perubahan konsepstual
Menurut Posner(1982) dan Hewsen(1989), jika
perubahan konsepstual akan terjadi, mula-mula anak itu harus merasa tidak puas
dengan gagasan yang ada. Walaupun demikian, ketidakpuasan saja tidak cukup
unttuk mengganti gagasan lama dengan gagasan baru. Harus ditambhakan 3 kondisi, yaitu gagsan baru itu harus
intelligible(dapat dimengerti), plausible(masuk akal), dan fruitful(memberi
suatu kegunaan).
Suatu contoh terjadinya perubahn konsepstual diberikan
sebagai berikut:
Konsep
anak yang biasa dijumpai pda anak-anak sekolah dasar ialah mereka menganggap
zat padat atau zat cair terbentuk dari molekul-molekul yang padat atau zat cair
terbentuk dari molekul-molekul yang “berupa air”. Akan tetapi, setelah guru
meminta mereka menggambarkan zat padat atau zat cair dengan memperlihatkan
molekul-molekulnya, kemudian guru bertanya apa yang terdapat antara
molekul-molekul itu, mereka berpikir.
Bermacam-macam pikiran terjadi pada anak-anak antara
lain sebagai berikut.
· Tentunya
molekul-molekul itu tidak melekat satu sama lain
· Mungkin
dalam es molekul-molekut itu dapat melekat satu sama lain sebab bentuk es
selalu tetap
· Dalam
air tak mungkin. Bagaimana air dapat mengalir?
· Tentu
diantara molekul-molekul itu terdapat ruang kosong, walaupun sedikit dan
diantara dan molekul-molekul itu tentu terdapat ikatan
Mereka merasa tidak puas dengan konsepsinya selama
ini dan bersedia mengubahnya.
Mereka
berkata:” molekul- molekul itu di kelilingi oleh ruang kosong”
Kemudian
guru bertanya lagi: “ apa yang terjadi kalau es di panaskan?” mereka menjawab
bahwa bukan molekul-molekulnya berubah yaitu dari padat menjadi cair,melainkan
ikatan-iktan antara molekul-molekul yang putus. dan bila banyak energy yang
diberikan, molekul-molekul itu dapat “beterbangan” membentuk gas yang memuai
tidak terhingga bila tempat molekul-molekul itu tidak tertutup.
Jelas
bila mereka menerima konsepsi baru. Dengan demikian setelah mereka tidak puas
dengan konsepsi lama dan konsepsi baru dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa
lain, terlihatlah segi kegunaan konsepsi baru. Dengan demikian proses perubahan
konseptual berlangsung dalam diri anak.
D.
Perubahan-perubahan konseptual dalam kelas
Beberapa
strategi mengajar untuk berlangsungnya perubahan konseptual pada anak dalam
kelas diantaranya :
1.
Model driver
Ketidakpuasan
anak akan gagasan yang dimilikinya terjadi pada waktu ia dihadapkan pada suatu
gagasan baru yang bertentangan dengan
gagsan yang dimilikinya yaitu pada fase “dihadapkan pada suatu situasi
konflik”. Dalam fase “konstruksi gagasan baru “ berkembang intelligibility dan
plausibility gagasan baru itu. Sesudah anak itu dapat menerapkan gagasan baru
itu pada situasi dan fenomena baru selama fase “ aplikasi gagasan”, kondisi
fruitfulness tercapai.
2.
Model Lawson
Lawson
(1988) mengemukakan 3 fase dalam siklus belajarnya, yaitu fase eksplorasi,
pengenalan konsep dan aplikasi konsep. Selama fase eksplorasi, para siswa
belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam situasi baru. Dalam fase
ini kerap kali menyelediki suatu fenomena dengan bimbingan minimal. Fenomena
bari itu seharusnya menimbulkan pertanyaan atau kekompleksan yang tidak dapat
mereka pecahkan gagasan-gasan mereka yang ada atau dengan pola-pola penalaran
yang biasa mereka gunakan. Eksplorasi
juga membawa para siswa pada
identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki.
Fase
kedua ialah pengenalan konsep yang biasanya dimulai dengan memperkenalkan suatu
konsep atau konsep yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki dan
diskusikan dalam konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi.sesudah
pengenalan konsep fase aplikasi menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk
menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan.
Lawson
(1988) mengemukakan 3 macam siklus
belajar: descriptive, empiris-induktif, dan hipotesis deduktif. Ditinjau dari
segi penalaran siklus descriptive menghendaki hanya pola-pola deskriptif(
misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi) sedangkan siklus belajar hipotesis
deductive menghendaki pola-pola tingkat tinggi( misalnya mengendalikan
variable, penalaran korelasional, penalaran hipotesis deductive). Siklus belajar deductive bersifat intermediate,
menghendaki pola-pola penalaran descriptive, tetapi juga umumnya melibatkan
pula pola-pola tingkat tinggi.
Dalam
siklus belajar descriptive, para siswa mengemukakan dan memberikan suatu pola
empiris dalam suatu konteks khusus
(eksplorasi), sementara guru meberi nama pada pola itu( pengenalan istilah atau
konsep) kemudian pola itu ditentukan dalam konteks lain( aplikasi konsep).
Bentuk siklus belajar ini disebut descriptive sebab siswa dan guru hanya
memberikan apa yang mereka amati tanpa usaha untuk melahirkan
hipotesis-hipotesi hasil pengamatan mereka.
Dalam
siklus belajar empiris induktif, para siswa juga menemukan dan memberikan suatu
pola empiris dalam suatu konteks khusus( eksplorsi), tetapi mengemukakan
sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya pola itu. Dengan kata lain pengamatan
dilakukan secara descriptive tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih
jauh,yang mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama
empiris- induktif.
Siklus belajar hipotesis-deduktif, para
siswa diminta untuk merumuskan jawaban (hipotesis) yang mungkin terhadap
pertanyaan itu.selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi
logis hipotesis ini dan merencanakan serta melakukan eksperimen untuk menguji
hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa
hipotesis ditolak, sedangkan yang lain diterima dan konsep dapat diperkenalkan.
Akhirnya konsep yang relevan dan pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan
dapat diterapkan pada situasi lain dikemudian hari. Merumuskan
hipotesis-hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil empiris diperlukan dalam
siklus belajar ini. Oleh karena itu diberi nama hipotesis deduktif.
3. Model
Glasson
Glassom menamakan siklus belajarnya “siklus belajar
berorientasikan bahasa”. Penggunaan klarifikasi menunjukkan peranan aktif siswa
sedangkan introduksi istilah memperlihatkan peranan guru. Selanjutnya
klarifikasi menunjukkan bagaimana siswa dapat mengungkapkan usahanya untuk
mengatasi disekuilibrium kognitif yang mereka alami selama fase eksplorasi.
Pada fase ketiga Glasson menggunakan elaborasi sebab yang lebih penting adalah
pemecahan masalah divergen daripada aplikasi konsep baru pada keadaan-kkeadaan
baru.
Siklus belajar Glasson sesuai teori vygotsky yang
menyarankan penggunaan berbagai cara interaksi social dalam mengembangkan suatu
spectrum yang luas pada proses yang luas dalam proses berfikir, menurut Glasson
pola-pola tidak merupakan atribut fenomena, tetapi konstruksi manusia yang merefleksikan harapan,
pengalaman, dan persfektif anak. Oleh karena itu siswa dan orang awam
mengonstruksikan pola yang dapat berbeda dengan pola yang dikonstruksi oleh
ilmuwan yang berpengalaman.
E. Konstrukstivisme dan Kurikulum
Driver(1988)
mengemukan implikasi perspective para konstruktivis untuk pendidikan sains,
yaitu sebagai berikut
1. Anak
tidak dipandang sebagai penerima pasif program pengajaran, melainka, bersifat
purposive dan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri.
2. Belajar
sains melibatkan perubahan dalam konsepsi anak. Secara sktive anak membangun
pengetahuanya untuk mencapai kebermaknaan.
3. Pengetahun
itu tidak bersifat objective, tetapi pribadi dan dibangun secara social.
4. Mengajar
bukanya pemindahan pengetahuan, tetapi negosiasi kebermaknaan
5. Kurukulum
bukanya apa yang harus dipelajari, melainkan suatu program tugas belajar,
bahan, dan sumber yang memungkinkan anak untuk merekonstruksi gagasanya
mendekati gagsan sains sekolah
Hal
yang dikemukan oleh driver memerlukan pembahasan lebih lanjut terutama tentang
pengembangan kurikulum dan strategi belajar mengajar.
1. Perubahan
konseptual dan tingkat sekolah
Menurut
villain, agar perubahan konseptual tepat untuk semua tingkat sekolah harus
dibedakan 2 fase perubahan yang kurang lebih sama dengan penerimaan pengethauan
ilmiah baru: conceptual change” latu sensu”(c.c.l.s) dan conceptual change”
stictu sense”(c.c.s.s). dalam c.c.c.l.s, pengeahuan baru dan pengetahuan lama
berada bersama, dalam c.c.c.s.l, pengetahuan ilmiah baru, baik cara-cara
penalaranya maupun nilai-nilai intelektual yang implisif dalam kegunaanya
secara ilmiah, diterima oleh siswa, yang berhasil mengintegrasikan kedalam
system konseptual yang koheren dan efisien
Menurut
pengalamanya tujuan c.c.s.s.s dapat dicapai pada tingkat universitas dan dengan
beberapa modivikasi kurikuler
Untuk
pendidikan tingkat primer dan sekunder tujuan c.c.s.l sudah cukup. Guru harus
memfokuskan usaha-usahanya untuk menyiapkan kegiatan dan menyarankan tugas yang
cukup menarik untuk menstimulasi agar sisiwa terlibat secara ilmiah, tanpa
mengharapkan betul gugurnya semua cara berfikir spontan anak. Dalam fase
selanjutnya, tujuanya bukan untuk menghilangkan penalaran spontan, melainkan
untuk memacu penalaran ilmiah. Dengan demikian focus diarah kan pada tumbuhnya
sukses dari pengalaman baru
2.
Peranan Materi Ajar
Dalam pengembangan kurikulum, menurut
persepektive konstruktivis tidak hanya struktur bidang stusi yang diperhatikan,
tetapi juauga gagasan anak. Hal yang juga menjadi masalah ialah anggapan bahwa
banyak topic domainsains dalam mengajarkanya mempunyai satu urutan presentasi
logis saja. Hal ini ditemukan terutama dalam fisika.
Untuk SD mungkin topic yang dipilih
adalah topic yang berhubungan dengan gagasan yang anak dapat menguji gagasanya,
misalnya penguapan, kondisi-kondisi agar tanaman dapat tumbuh, dan lain-lain.
Hal yang perlu ini adalah guru mengajar dengan bertitik tolak dari gagasan yang
telah dimiliki anak dengan memperhatikan miskonsepsi yang mereka miliki.
Gagasan anak yang
terdapat dalam kurikkulum hanya akan memberikan arah bagi guru untuk menyiapkan
pelajaran, yaitu kurang lebih untuk menyiapkan bagaimana mengurangi kondisi
miskonsepsi dan meningkatkan kondisi gagasan baru. Dengan membatasi jumlah
topic yang dibahas di SD, mungkinkan akan timbul kesenangan pada anak untuk
mempelajari sains, internal fruitfulness akan terpupuk.
3.
Perenan guru dan siswa
Peranan guru dalam pembelajarn
konstruktiv terlihat pada bagaimana ia memilih dan mengendalikan proses belajar
mengajar, memberikan dukungan selective terhadap interpretasi yang dikemukan
siswa, baik mengenai isi interpretasi maupun cara atau sikap memberikan
interpretasi dengan penguasaan materi ajar yang luas dan mendalam, guru lebih
mudah mengajukan pertanyaan yang meminta para siswa beroikir dan merangsang
mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas dalam usaha
mengkonstruksi pengetahuan
Proses belajar mengajar dapat digunakan
guru untuk mencoba menanamkan kebiasaan-kebiasan sebagai dampak positive dan
meniadakan kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak negative dari sifat pluralistic
masyarakat
Dengan sadar dan bertanggun jawab atas
proses belajar mereka sendiri, para siswa berusaha melibatkan diri dalam proses
perubahan konseptual dengan memperhatikan bimbingan guru dan kerja sama dengan
teman-teman sekelas. Mereka berusaha mengkonstruksi kebermaknaan tentang hal
yang sedang mereka pelajari. Konstruksi kebermaknaan dapat berlangsung melalui
interaksi dengan fenomena, teks, melalui negosiasi interpersonal atau refleksi
internal (driver 1988). Selain itu mereka berusaha menerima dan menepkan
kebiasaan-kebiasan baik yang disrankan guru atau ditiru dari teman-sekelas,
walaupun hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selanjutnya dengan usaha ini anak-anak
didik bukan hanya memiliki pengetahuan melainkan juga peradaban untuk
menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan hidup
BAB III
KESIMPULAN